Friday, April 20, 2012

FOTOGRAFI - QUALITY OF LIGHT

Ada enam faktor pengaruh terhadap kualitas tata cahaya dalam fotografi atau sinematografi, yaitu:

  • Brightness, merupakan tingkat intensitas radiasi matahari atau pantulan cahaya (dari dinding). Tingkatan brightness dapat didefinisikan dalam tiga keadaan cerah, rata-rata dan gelap. Brightness dapat diukur menggunakan lightmeter baik secara incident maupun reflektif. 
  • Contrast, merupakan perbedaan gelap terang antar subyek yang ada pada scene. Kontras juga dapat diukur seperti brightnes dengan alat ukur seperti lightmeter, yaitu dengan spot meter. Dengan kontras cahaya dapat didefinisikan menurut perbandingan f/stop yang dinamakan lighting rasio/kontras rasio. Tabel perbandingannya adalah sebagai berikut: 
          Rasio   Perbedaan Stop          Keterangan
         1:1      Tidak ada perbedaan   Flat lighting
         2:1      1 stop                          Fotogafi warna umum
         3:1      1 ½ stop                      Fotografi B/W umum
         4:1      2 stop                          Dramatic Lighting/ Low Key
         8:1      3 stop                          Sangat dramatik/ low key

Source: StudioLighting.net


  • Color, dalam hal warna menyangkut banyak hal seperti color balance, tone, color temperature , warna primer, efek warna dan sebagainya. Warna dapat diukur menggunakan colormeter. 
  • Specular, cahaya spekular merupakan cahaya dengan lebar penembakan sempit. Sebagai contoh cahaya matahari yang tidak terlindung awan dan cahaya lampu adalah termasuk cahaya spekular. Cahaya spekular digolongkan ke dalam cahaya keras. 
  • Diffuse, cahaya baur merupakan cahaya dengan jangkauan lebar cahaya yang luas dan menyebar ke segala arah. Cahaya matahari yang tertutup awan merupakan cahaya baur, atau cahaya yang terlindungi oleh kabut. Cahaya baur digolongkan dalam cahaya lembut. 
  • Direction, arah cahaya memberikan informasi tentang arah jatuhnya bayangan., menyediakan bobot dari texture, bentuk dan ruang. Seorang fotografer atau sinematografer harus memperhatikan arah untuk efek pencahayaan yang dinamis.
diambil dari berbagai sumber.

Thursday, April 19, 2012

SINEMATOGRAFI - BAHASA VISUAL

Lagi-lagi masih dari bukunya Blain Brown tentang sinematografi, soalnya emang bagus sih bukunya. Disamping buku itu diambil juga dari berbagai sumber di internet yang saya gabung-gabungkan melengkapi beberapa teori, sampai lupa beberapa sumber yang saya kutip belum dicantumkan, tetapi ada sebagian juga bahan bacaan di wikipedia yang kemudian saya telusuri pada bagian daftar pustakanya. Maaf kalau artikelnya belum tertalu lengkap.

Kembali ke laptop.

Menurut Blain Brown yang berhubungan dengan teori bahasa visual beliau menuliskan Dalam pembuatan film atau video, bahkan animasi sekalipun, gambar tidak hanya sekedar gambar, tetapi gambar adalah sebuah informasi. Jadi salah satu tugas sinematografer adalah menjadikan gambar menjadi bahasa visual kepada audiens menjadi sebuah pesan yang berarti. Hasil akhir dari tayangan video atau animasi secara materi adalah berbentuk dua dimensi, tetapi sinematografer harus dapat memberikan panduan mata pemirsa untuk melihat realitas. Untuk itu diperlukan pemahaman konsep terhadap dasar pandangan 2D, 3D dan bahasa visual. Untuk itu perlu dipahami tentang prinsip-prinsip desain. Dan juga elemen-elemen desain. Elemen desain merupakan unit dasar pembentuk gambar visual. Dari beberapa buku dan sumber di internet ada beberapa perbedaan yang menempatkan elemen desain dan prinsip desain. Apapun itu kembali ke hakekat utama dari bahasa visual yang penting mengandung unsur-unsur tersebut, menjadi dasar bagi seorang sinematografer dalam meramu visual film menjadi menarik. Beberapa elemen desain itu antara lain:

  • Space (ruang) 
  • Line (Garis) 
  • Balance (keseimbangan) 
  • Color (warna) 
  • Shape (Bentuk) 
  • Tekture (tekstur) 
  • Form (Bidang) 
  • Value (Nilai/Tone)  
Sedangkan beberapa prinsip desain yaitu:

  • Unity (kesatuan) 
  • Balance (keseimbangan) 
  • Visual Tension (Penekanan Visual) 
  • Rythym (Perulangan) 
  • Proportion (proporsi) 
  • Contrast (kontras) 
  • Texture (tekstur)
  • Directionality (arah) 
Ada beberapa elemen yang masuk dalam prinsip dan sebaliknya. Kadang menjadi perdebatan. Tetapi sebaiknya kita mengambil persamaan persepsi saja mengenai hakekat bahasa visual yang akan dibentuk. Untuk uraiannya nanti di artikel selanjutnya akan saya uraikan satu per satu.

Selain elemen dan prinsip-prinsip desain tersebut, menurut Blain Brown, yang termasuk dalam bahasa visual yaitu area 3 dimensi. Yang dimaksud dengan are 3 dimensi disini ide dasarnya adalah memproyeksikan bentuk tiga dimensi ke dalam area dua dimensi. Salah satu tugas dari sinematografer adalah mewujudkan 3D di dunia nyata terlihat nyata di gambar dua dimensi.

Beberapa cara untuk mengaplikasikannya adalah dengan membuat:

  • Depth (kedalaman ruang) 
  • Overlap 
  • Relative Size 
  • Vertical Location 
  • Linear Perspective 
  • Foreshortening 
  • Chiaroscuro 
  • Atmospheric Perspective 
Penjelasan untuk itu akan saya uraikan di bab tersendiri pada artikel selanjutnya. Kalau Anda ingin lebih detail mengenai penjelasan tersebut dapat mencari buku karya Blain Brown, Cinematography: Theory and Practise. Ini masih berlanjut.. tunggu ya...

MEMBANGUN CERITA FILM-FILM ANIMASI DAN LIVE ACTION ALA HOLLYWOOD

Setiap kali saya tahu orang mengatakan membuat cerita itu harus memiliki bakat. Di satu sisi memang sebagian tidak ada salahnya orang perlu memiliki bakat untuk membuat cerita, tetapi sebagian yang lain itu adalah kemauan untuk membuat cerita. Selain kemauan didukung dengan teknik penceritaan yang baik.

Berbicara tentang teknik penceritaan/storytelling, pada prinsipnya hampir semua penceritaan sama. Namun dalam artikel ini saya akan menyampaikan secara bertahap bagaimana penceritaan yang dilakukan oleh film-film di Hollywood.

Dari yang saya baca dan pelajari ada dua alat atau metode penceritaan film-film ala Hollywood (walaupun banyak sekali referensi buku-buku yang membahas tentang hal itu). Saya akan mengambil dua buku saja untuk panduan kita dalam membangun cerita ala hollywood. Buku yang pertama dari Richard Krevolin judulnya: HOW ADAPT ANYTHING INTO A SCREENPLAY. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan banyak dijual di toko-toko buku di Indonesia. Buku yang kedua adalah karya Christopher Vogler berjudul THE WRITER'S JOURNEY: Mythic Structure For Writers. Sampai artikel ini dibuat sementara saya belum menemukan versi bahasa Indonesianya.

Buku yang pertama tentang How Adapt Anything Into A Screenplay, Richard Krevolin membahas tentang bagaimana caranya kita mengadaptasi sebuah penceritaan entah dari dongeng, novel, komik, atau cerita-cerita lainnya ke dalam format cerita film. Di buku itu dibahas tentang bagaimana memulai membuat cerita dari merancang Ide, menentukan Tema, plot dan sebagainya. Juga termasuk pertanyaan-pertanyaan yang digunakan sebagai petunjuk untuk bertahap membangun cerita mulai dari protagonis, antagonis, sampai bagaimana film tersebut akan diakhiri. Ada alat bernama Scene-O-Diagram yang menuntun kita membangun cerita yang runtut dan memiliki tujuan. Di kesempatan lain saya akan menguraikan lebih detail.



Buku yang kedua tentang Writer's Journey: Mythic Structure For Writers karya Chris Vogler, berisi tentang bagaimana perjalanan kisah seorang Hero dalam berpetualang/adventure dalam sebuah cerita film ala Hollywood. Ada tahapan-tahapan erita dalam setiap babak, yang dibagi menjadi tiga babak utama dimana setiap babak akan dibagi lagi menjadi tahapan-tahapan segmen cerita. Tahapan segmen itu yaitu
ACTION 1 terdiri atas:
Ordinary World, Call to Adventure, Refusal the call, Meeting with The Mentor, Crossing The Threshold

ACTION 2
Test - Allies - Enemies, Approach to Inmost Cave, Ordeal, Reward, The Road Back

ACTION 3
Ressurection, Return with the Elixir



Dalam artikel selanjutnya akan saya uraikan secara lebih detail tentang proses ini.

SINEMATOGRAFI - RUANG FILM: MEMBANGUN BLOK ADEGAN

Masih dari teori-teori yang diungkap oleh Blain Brown, dalam bukunya juga membahas bagaimana cara-cara membangun sebuah blok adegan dalam ruang film.

Beberapa tipe pengambilan gambar untuk membangun blok adegan yaitu:
Wide Shot/Long Shot (LS), yaitu pembingkaian dengan menyertakan keseluruhan gambar dalam sebuah adegan. Biasanya menggunakan focal lens yang pendek. Contoh: LS – ruangan Jono.

Establishing Shots (ES), hampir sama dengan wide shot. Biasanya digunakan pada pembukaan film atau video untuk memberikan informasi lokasi atau dimana kejadian film atau video tersebut. Contoh: ES – rumah Budi.

Full Shot (FS), yaitu pengambilan gambar dengan menyertakan seluruh obyek. Obyek dapat berupa bangunan, benda atau manusia. Misalnya FS – mobil. Berarti gambar yang diambil adalah keseluruhan mobil.

Medium Shot (MS), yaitu pembingkaian gambar mendekati subyek. Biasanya pengambilan sebatas pinggang manusia. Tujuannya misalnya untuk lebih memperlihatkan aksi yang sedang dilakukan atau memperjelas pakaian yang dikenakan . Misalnya adegan orang sedang di bar, kemudian ia membeli minuman atau orang yang sedang membaca buku.

Two Shot (TS), yaitu pembingkaian yang menyertakan dua karakter. Aksi diantara dua karakter tersebut menjadi bagian penting dalam penceritaan. Keduanya tidak boleh diatur secara simetris dalam frame. Dua karakter tersebut dapat saling berhadapan, tetapi pengambilan gambar pertama misalnya lebih dekat, sedangkan gambar yang kedua lebih jauh dari pandangan kamera.

Cowboy Shot (CS), yaitu pembingkaian gambar dari kepala sampai ke pangkal paha. Istilah ini mengacu kepada jaman pemakaian pistol oleh para koboi di amerika.



Kemudian ada cara untuk melakukan pengambilan gambar untuk membangun karakterisasi yaitu:


Close Up (CU), Secara umum pembingkaian CU dari kepala sampai ke batas bawah kerah baju. CU memiliki beberapa variasi pembingkaian. Pengambilan dari kepala sampai ke batas atas kantong atas baju disebut head and shoulders. Secara terminologi close up termasuk diantaranya:

Medium Close Up) MCU, pembingkaian single untuk medium shot. Dimulai dari kepala sampai batas pinggang.

3-Ts, pembingkaian dari dada ke atas kepala.

Choker: pembingkaian dari tenggorokan ke kepala. Disebut juga 2-Ts(Teeth and throat).

Big Head CU atau Tight CU, pembingkaian dibawah dagu sampai batas bawah rambut di wajah.

ECU (Extreme Close Up), berbagai macam pembingkaian ekstra dekat, tetapi biasanya pada mulut atau mata.



Over The Shoulder (OTS), pengambilan gambar melalui pundak seseorang dengan pembingkaian medium shot atau close up. Pembingkaian ini dapat menunjukkan posisi seseorang dalam adegan.

Cut Away, pengambilan gambar orang, benda atau sesuatu dalam adegan yang berbeda dengan pengambilan gambar utama tetapi masih ada kaitannya dengan adegan dari tokoh/kejadian tersebut tersebut. Misalnya pengambilan gambar jam dinding, dimana tokoh utama melihat jam tersebut sebelumnya. Cut away juga membantu editor untuk menyelamatkan gambar jika terjadi pengambilan gambar yang tidak sesuai dengan yang diinginkan. Beberapa kejadian seperti jumping scene dapat disisipi dengan teknik cut away.

Reaction Shot, merupakan pengambilan gambar tipe cut away yang lain. Misalnya suatu kejadian atau karakter yang mengucapkan sesuatu dan gambar diambil pada karakter lain yang ada dalam bagian ruangan dan merespon apa yang sedang terjadi atau dibicarakan. Kemudian kembali ke karakter utama.

Insert, Merupakan pengisolasian adegan yang berdiri sendiri dari sebuah adegan utama. Misalnya seorang aktris yang sedang membaca buku, kemudian diambil syutin cover buku yang dibaca aktris melalui OTS.

Connecting shot yaitu pembingkaian yang dilakukan saat ingin memasukkan subyek dan obyek pada syuting poin yang sama dalam satu adegan. Idenya adalah seperti pandangan POV tetapi dengan menyertakan subyek.




Dalam membangun blok adegan selain framing kamera juga menggunakan transisi.

Transisi, biasanya digunakan pada awal dan akhir sebuah adegan/scene. Dalam beberapa kasus menunjukkan perubahan waktu. Beberapa transisi misalnya menggunakan matahari terbit atau tenggelam, gedung pada siang hari dan malam hari dan sebagainya. Bentuk transisi misalnya seperti:
Eliptical Cuts, digunakan untuk menunjukkan pewaktuan. Pewaktuan lambat dan pewaktuan cepat, untuk teknik syuting pada high-speed atau slow motion syuting, time-lapse fotografi, syuting energi tingkat tinggi.

Real Time Continuity, merupakan teknik yang sangat rumit dan jarang digunakan dalam film. Metode ini adalah metode dengan syuting yang sudah sangat direncanakan sebelumnya. Real time adalah kata kunci dalam syuting ini. Setiap adegan direncanakan scene per scene tanpa berhenti sampai pada adegan terakhir.

Empty Frame, transisi dimana disis oleh frame masuk dan frame keluar dari karakter.

SINEMATOGRAFI - RUANG FILM

SINEMATOGRAFI - RUANG FILM (Blain Brown - Cinematography: Theory and Practise)

Dalam bukunya Blain Brown menjelaskan tentang ruang film yaitu Ruang film merupakan pengenalan dasar menuju kepada pemahaman esensi konsep visual storytelling (penceritaan). Hal ini sangat penting agar seorang sinematografer atau videografer yang mendampingi sutradara bukan hanya sekedar teknisi yang merancang syuting yang bagus, melainkan juga memahami bagaimana sinematografi dapat mendukung storyteling.


Ruang film berhubungan dengan teknik sinematik. Pada jaman dulu ketika pertama kali manusia membuat sebuah karya film atau video, layaknya drama panggung tidak terdapat pengaturan tata sinema seperti memperlihatkan adegan orang yang sedang bersin, atau orang yang meninggalkan kereta api, dan sebagainya. Tetapi sekarang semua diatur untuk lebih memberikan efek drama yang dapat berkomunikasi dengan pemirsa. Teknik sinematik sangat berhubungan dengan membangun persepsi pertanyaan dan harapan pada benak pemirsa. Seperti misalnya, mengapa dia menangis, apakah cerita ini menuju ke happy ending atau sadness dan sebagainya. Untuk menghasilkan urutan persepsi yang sama antara pembuat film atau video dengan pemirsanya maka perlu diatur pemunculan sequence dari adegan-adegan.
Misalnya:
  • Long shot: hutan yang gelap dan rimbun
  • Close on: wajah laki-laki yang marah. Matanya melotot, mulutnya menyeringai, gigi- giginya gemeretak
  • Close on: tangannya mengepal, otot-otot lengannya menonjol.
  • Wide Shot: dua orang laki-laki terlihat berhadapan.

Dengan melihat urutan adegan tersebut nampak bahwa sutradara sedang mengarahkan pemirsa bahwa akan terjadi pertarungan dahsyat antara dua orang laki-laki. Ide utama dari ruang film adalah menciptakan bahasa visual untuk berkomunikasi antara pembuat film atau video dengan pemirsa atau audiens. Metode ruang film adalah dengan membagi-bagi realitas tiga dimensi dunia nyata ke dalam bagian-bagian kecil dan memperlihatkan ke pemirsa dalam urutan yang direncanakan.

Dalam uraiannya Blain Brown menjelaskan sangat rinci tentang hal ini. Di artikel ini saya meringkas beberapa teori dari beliau. Beberapa bagian tema-tema itu seperti tentang Subyektif dan obyektif POV (Point of View).

Subyektif dan obyektif POV (Point of View)
Dalam kata ganti orang terdapat kata ganti orang pertama yang dikenal dengan “saya”, kata ganti orang kedua yang dikenal dengan “anda” dan kata ganti orang ketiga yang dikenal dengan “mereka”. Kata ganti ketiga disebut obyektif, kata ganti pertama disebut subyektif dan kata ganti kedua menempati posisi diantaranya. Dalam sinematografi hal tersebut dapat direpresentasikan dengan pengaturan angle kamera yang disebut POV (Point Of View). Hal ini biasa diaplikasikan pada adegan orang yang berdialog atau sedang berbicara. Ilustrasi gambar penempatan kamera seperti di bawah ini:



Dari ilustrasi yang digambarkan Blain Brown, menunjukkan bahwa pengambilan gambar sebuah kamera dari sisi yang berbeda akan mengakibatkan perubahan dampak ruang yang berbeda pula. Kamera yang diletakkan pada bagian belakang karakter/pemain akan menampilkan subyektifitas pemain dalam artian kesan dalam film menjadi lebih subyektif berinteraksi dengan pemirsa. Sebaliknya jika kamera digeser pada penampilan dua pemain tersebut diatas maka penonton akan merasakan obyekti seorang pemain. Hal ini harus dipahami oleh seorang sutradara maupun sinematografer dalam melakukan pembangunan adegan.

SINEMATOGRAFI FILM-FILM ANIMASI DAN LIVE ACTION ALA HOLLYWOOD

Menurut buku dari Blain Brown, Cinematography: Theory and Practise membahas tentang Image making for Cinematographer, Directors dan Videographers mengatakan bahwa Sinematografi tidak hanya sekedar tindakan dari karya fotografi. Lebih dari itu, sinematografi merupakan proses penggalian ide, aksi, subteks emosional, tone dan semua bentuk komunikasi non-verbal dan menggabungkannya dalam terminologi visual.

Ide berarti sebuah gagasan. Gagasan tidak hanya sekedar gagasan melainkan ide yang dapat direalisasikan dalam penuangan bentuk film dan kemampuan teknologi yang ada. Jadi ide boleh saja liar, tetapi akan ada konsekuensinya ketika teknologi untuk menerapkan ide tersebut belum teraplikasikan seperti contoh kasus film AVATAR-nya James Cameron.

Aksi merupakan kekuatan utama dalam sinematografi. Harus dibedakan aksi dalam dunia nyata dan aksi yang digunakan untuk konsumsi film. Adegan perkelahian yang tanpa alur di dunia nyata akan dikemas dengan koreografi pada sinematografi. Nampak kacau tidak apa tetapi koregrafi yang menarik sesuai sinematografi akan menjadi indah.

Subtex emosional merupakan bahasa yang tidak terlukiskan melalui kata namun dapat berbicara seperti halnya berkata hanya dengan menunjukkan visual. Seperti kamera traking in untuk sebuah adegan yang dipentingkan dan memberi kesan mendalam pada subyek. Untuk lebih memeperdalam ilmu ini Anda dapat mengakses dan mendownload DVD tentang Hollywood Camera Work, dan tentu juga harus membeli.

Istilah TONE dalam sinematografi harus berhati-hati dengan istilah Tone/Nada pada musik. Karena sampai artikel ini saya tulis, saya belum menemukan teori istilah TONE di sinematografi berkaitan dengan musik. Yang saya tahu istilah tone di sinematografi tetap berhubungan dengan bahasa visual dan teori warna atau orang menyebutnya dengan istilah tonal. Nanti di kesempatan selanjutnya akan saya uraikan tentang tonal ini. Tetapi jika ada kemungkinan teori baru yang diungkap ada penggabungan antara sinematografi dan musik yang saya belum tahu dan belum dengar. Setahu saya sinematografi urusannya dengan visual, musik/sound ya musik atau sound tersendiri ilmunya, urusan peng-adeganan ya sutradara. Walau pun sutradara berhak meminta pada sinematografer dan sound engineer melakukan yang terbaik untuk filmnya. Semua sudah ada bidangnya masing-masing.

Blain Brown menguraikan beberapa cakupan sinematografi dalam berbagai hal yaitu:
1. Film Space (Ruang Film)
2. Visual Language (Bahasa Visual)
3. Lens Language (Bahasa Lensa)
4. Camera Dynamics (Dinamisasi Kamera)
5. Cinematic Continuity (Kontinyuitas Sinema)
6. Exposure
7. Color Theory (Teori Warna)
8. The Tools of Lighting (Peralatan Tata Cahaya)
9. Lighting as Storytelling (Tata cahaya sebagai penceritaan)
10. Controlling Color (Mongontrol Warna)
11. Optics (Optik)
12. Video dan High Def
13. Image Control (Kontrol gambar)
14. Set Operation (Operasi Set)
15. Beberapa penjelasan tentang technical issue
16. Professional Format

Selain teori-teori diatas (saya akan menguraikannya di artikel selanjutnya), ada beberapa teknik-teknik visualisasi kamera yang digunakan oleh hollywood. Beberapa visualisasi tersebut terdokumentasi dan dirancang dalam DVD dalam judul HOLLYWOOD CAMERA WORK yang dapat Anda akses pada situs: http://www.hollywoodcamerawork.us.

Hollywood Camera Work dirancang oleh Tim yang mempelajari tentang bagaimana orang-orang di perfilman Hollywood melakukan sinematografi untuk karya-karya mereka. Kemudian oleh tim tersebut adegan-adegan itu dirangkum dalam sebuah animasi 3D sebagai rujukan pergerakan kamera ala Hollywood. Sampai saat artikel ini dibuat ada 3 tema yang mereka buat untuk para sinematografer yaitu
1. Hollywood Camera Work: The Master Course in High End Blocking & Staging
2. Hollywood Camera Work: Visual Effect For Directors
3. Hollywood Camera Work: Hot Moves